Kemenkeu Siapkan Aturan Bea Keluar Batu Bara
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mematangkan regulasi penerapan bea keluar batu bara yang direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2026. Kebijakan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah memperkuat kapasitas fiskal sekaligus menata ulang kontribusi sektor batu bara terhadap penerimaan negara.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, mengatakan bahwa penyusunan regulasi tersebut masih berlangsung dan dilakukan secara intensif. Proses ini juga mempertimbangkan hasil pembahasan bersama DPR RI, khususnya Komisi XI.
“Kami sedang siapkan, sesuai hasil dengan DPR juga kemarin kan arahnya demikian,” ujar Febrio saat dikonfirmasi wartawan di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa.
Menurut Febrio, pemerintah menargetkan aturan teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dapat diselesaikan sebelum akhir tahun 2025, sehingga kebijakan bea keluar batu bara bisa diterapkan tepat waktu pada awal 2026.
Tarif Masih Digodok, Akan Diumumkan Resmi
Meski arah kebijakan sudah dipastikan, Kemenkeu belum mengungkapkan secara rinci besaran tarif bea keluar yang akan dikenakan pada komoditas batu bara. Febrio menegaskan bahwa pembahasan tarif masih dalam tahap finalisasi.
“(Tarif) sedang kami siapkan. Nanti kami umumkan, ya,” katanya singkat.
Pemerintah menilai penentuan tarif perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan gejolak berlebihan di industri pertambangan, namun tetap mampu mencapai tujuan fiskal yang diharapkan.
Sinyal awal mengenai kisaran tarif sebenarnya telah disampaikan sebelumnya. Pemerintah mengindikasikan tarif bea keluar batu bara akan berada pada rentang 1 hingga 5 persen, dengan mempertimbangkan kondisi pasar dan harga batu bara global.
Latar Belakang Penerapan Bea Keluar
Kebijakan bea keluar batu bara tidak muncul secara tiba-tiba. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menjelaskan bahwa langkah ini diperlukan untuk mengimbangi besarnya restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sektor batu bara.
Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Purbaya mengungkapkan bahwa restitusi PPN dari industri batu bara mencapai sekitar Rp25 triliun per tahun. Nilai yang sangat besar ini dinilai memberikan tekanan signifikan terhadap kapasitas fiskal negara.
“Jadi desain ini hanya mengembalikan ini ke seperti yang awal tadi, sebelum Undang-Undang Cipta Kerja 2020, ketika batu bara masih non-BKP. Ini untuk meng-cover loss yang karena perubahan status,” jelas Purbaya.
Setelah status batu bara berubah menjadi Barang Kena Pajak (BKP), pemerintah harus menanggung restitusi PPN dalam jumlah besar. Akibatnya, kontribusi bersih sektor batu bara terhadap penerimaan negara dinilai menurun, bahkan berpotensi menjadi negatif setelah dikurangi berbagai kewajiban perpajakan lainnya.
Menjaga Keseimbangan Fiskal Negara
Pemerintah menilai penerapan bea keluar menjadi salah satu instrumen yang paling rasional untuk menjaga keseimbangan fiskal. Dengan bea keluar, negara dapat menutup sebagian tekanan fiskal akibat restitusi PPN tanpa harus mengubah struktur pajak utama secara drastis.
Dalam konteks APBN, sektor batu bara selama ini dipandang sebagai salah satu penyumbang penting penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun, perubahan kebijakan perpajakan beberapa tahun terakhir membuat kontribusi bersih sektor ini perlu dievaluasi ulang.
Bea keluar diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan tersebut, sekaligus memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam tetap memberikan manfaat optimal bagi negara.
Tetap Berlaku Meski Harga Batu Bara Turun
Salah satu pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana kebijakan ini diterapkan di tengah tren penurunan Harga Batu Bara Acuan (HBA). Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Purbaya menegaskan bahwa kebijakan bea keluar tetap akan diberlakukan pada 2026, terlepas dari fluktuasi harga batu bara.
Menurutnya, kebijakan fiskal tidak bisa sepenuhnya bergantung pada pergerakan harga jangka pendek. Pemerintah perlu memastikan keberlanjutan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang.
Dengan kata lain, meski HBA tengah melemah, bea keluar tetap dipandang relevan sebagai instrumen struktural untuk menata kembali kontribusi sektor batu bara.
Dorong Hilirisasi dan Dekarbonisasi
Selain tujuan fiskal, pemerintah juga menyiapkan bea keluar batu bara sebagai bagian dari strategi yang lebih luas. Instrumen ini diharapkan dapat mendorong hilirisasi industri dan mendukung agenda dekarbonisasi nasional.
Purbaya menyebut bahwa mekanisme penerapan bea keluar juga dikaitkan dengan upaya mendorong nilai tambah di dalam negeri. Dengan adanya bea keluar, pelaku usaha diharapkan terdorong untuk mengembangkan industri turunan atau memanfaatkan batu bara secara lebih efisien.
Di sisi lain, kebijakan ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbon secara bertahap. Batu bara masih menjadi tulang punggung energi nasional, namun pemanfaatannya ke depan diharapkan lebih terkendali dan berorientasi pada transisi energi.
Respons Industri Masih Dinantikan
Hingga saat ini, respons resmi dari pelaku industri batu bara terhadap rencana bea keluar tersebut masih dinantikan. Namun, sejumlah pengamat menilai industri akan mencermati secara serius besaran tarif dan mekanisme penerapannya.
Jika tarif berada pada kisaran moderat, kebijakan ini diperkirakan masih dapat diserap oleh industri tanpa menimbulkan gangguan signifikan terhadap ekspor. Namun, apabila tarif terlalu tinggi, dikhawatirkan dapat memengaruhi daya saing batu bara Indonesia di pasar global.
Oleh karena itu, transparansi dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha dinilai menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini.
Kesimpulan: Kebijakan Strategis Jangka Menengah
Penerapan bea keluar batu bara yang direncanakan mulai 1 Januari 2026 merupakan langkah strategis pemerintah dalam menata kembali kontribusi sektor batu bara terhadap fiskal negara. Kebijakan ini tidak hanya ditujukan untuk menutup tekanan restitusi PPN, tetapi juga mendukung agenda hilirisasi dan dekarbonisasi.
Meski detail tarif masih difinalisasi, pemerintah memastikan regulasi akan rampung sebelum akhir 2025. Dengan persiapan yang matang dan koordinasi lintas kementerian, bea keluar batu bara diharapkan dapat menjadi instrumen fiskal yang efektif, berimbang, dan berkelanjutan bagi perekonomian nasional.
Baca Juga : Jakarta Gandeng Indocement Serap Bahan Bakar dari Sampah, RDF Rorotan Masuk Rantai Industri
Jangan Lewatkan Info Penting Dari : beritabumi

