iklanjualbeli.info Gelombang keresahan mulai muncul di kalangan tenaga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu, terutama mereka yang berasal dari database Badan Kepegawaian Negara (BKN). Para tenaga honorer ini tengah menanti kejelasan status mereka untuk diangkat menjadi PPPK penuh waktu (full time), namun kekhawatiran muncul karena beredar isu adanya praktik tidak sehat dalam proses transisi tersebut.
Menurut laporan dari berbagai daerah, sejumlah honorer mulai merasa cemas bahwa peluang mereka akan digeser oleh oknum yang memiliki koneksi atau kemampuan finansial untuk “membeli kursi” status full time. Fenomena ini mulai ramai dibicarakan di komunitas tenaga PPPK yang tersebar di berbagai instansi pemerintah daerah.
Aliansi R2-R3 Indonesia Bergerak
Menyikapi keresahan tersebut, Aliansi R2-R3 Indonesia — organisasi yang menaungi para PPPK paruh waktu — segera mengambil langkah. Ketua Umum Aliansi, Faisol Mahardika, menyampaikan bahwa pihaknya sedang melakukan konsolidasi nasional untuk mengawal proses alih status agar berjalan transparan dan bebas dari praktik nepotisme atau jual beli jabatan.
“Kami mendapat laporan dari lapangan bahwa sudah ada gelagat jual beli kursi PPPK full time. Karena itu, kami merapatkan barisan untuk mengawal proses ini agar tetap bersih,” tegas Faisol.
Ia menilai bahwa pemerintah harus turun tangan secara serius. Tanpa pengawasan ketat, proses alih status PPPK dikhawatirkan justru menjadi ladang praktik kecurangan baru di sektor aparatur sipil negara.
Status Paruh Waktu dan Harapan Penuh Waktu
Sebagian besar PPPK paruh waktu saat ini berasal dari honorer lama yang sudah terdata di sistem BKN. Mereka telah bekerja bertahun-tahun di berbagai instansi pemerintah, seperti sekolah, puskesmas, dan kantor layanan publik.
Meski sudah diangkat sebagai PPPK, status paruh waktu membuat mereka belum menerima hak dan tunjangan setara dengan ASN PPPK penuh waktu. Banyak dari mereka hanya menerima sebagian gaji dan tidak mendapatkan fasilitas karier yang lengkap.
Oleh sebab itu, program alih status ke full time menjadi harapan besar bagi ribuan tenaga honorer di seluruh Indonesia. Pemerintah sebelumnya menjanjikan bahwa tenaga paruh waktu dari database BKN akan diprioritaskan dalam proses ini. Namun, kabar adanya “kursi berbayar” membuat rasa percaya itu mulai goyah.
Dugaan Nepotisme dalam Proses Seleksi
Isu nepotisme dan jual beli jabatan bukan hal baru dalam rekrutmen pegawai pemerintahan. Dalam konteks PPPK paruh waktu, indikasi ini muncul dari laporan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang menawarkan “bantuan” mempercepat proses alih status dengan imbalan uang.
“Modusnya beragam, ada yang mengatasnamakan pejabat instansi, ada juga yang mengaku punya jalur langsung ke BKN atau Kemenpan-RB,” kata Faisol.
Ia menegaskan, praktik semacam itu bukan hanya merugikan individu, tetapi juga mencederai keadilan bagi ribuan tenaga honorer yang telah lama mengabdi. “Kami menuntut pemerintah menindak tegas oknum yang terlibat. Jangan sampai ASN lahir dari proses yang kotor,” tambahnya.
Desakan untuk Transparansi Pemerintah
Aliansi R2-R3 menilai bahwa transparansi dan kejelasan sistem seleksi menjadi kunci utama agar tidak terjadi kecurangan. Pemerintah diminta mempublikasikan mekanisme, syarat, dan hasil seleksi secara terbuka agar bisa diawasi publik.
Mereka juga mendorong BKN dan Kementerian PAN-RB untuk memastikan bahwa prioritas tetap diberikan kepada PPPK paruh waktu yang sudah lama terdaftar dan terbukti berkontribusi nyata.
“Kalau prioritasnya berubah, atau malah diisi oleh orang baru yang punya koneksi, itu akan menimbulkan konflik besar di lapangan,” ujar Faisol.
Ia juga menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh lepas tangan. Tanpa kebijakan yang jelas, isu jual beli kursi bisa berkembang menjadi skandal nasional dan mencoreng reputasi reformasi birokrasi.
Tanggung Jawab BKN dan Kemenpan-RB
Badan Kepegawaian Negara dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) memegang peranan sentral dalam proses alih status ini. BKN sebagai lembaga yang memiliki database tenaga honorer harus memastikan bahwa data digunakan secara akurat dan tidak dimanipulasi.
Sementara itu, Kemenpan-RB perlu menetapkan mekanisme verifikasi yang transparan serta memberikan kanal pengaduan bagi tenaga honorer yang merasa dirugikan. Beberapa daerah bahkan diharapkan membentuk satuan pengawasan internal untuk mencegah praktik jual beli jabatan di tingkat lokal.
“Kalau mekanisme ini diawasi dengan benar, peluang manipulasi akan sangat kecil,” ujar salah satu aktivis ASN Reform Watch yang ikut memantau isu PPPK paruh waktu ini.
Kekecewaan dan Kelelahan di Lapangan
Banyak tenaga PPPK paruh waktu mengaku lelah menghadapi ketidakpastian ini. Mereka merasa pengabdian yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun belum dihargai secara adil.
“Saya sudah mengajar lebih dari sepuluh tahun, tapi masih berstatus paruh waktu. Kalau sekarang yang baru masuk malah bisa jadi full time karena punya koneksi, itu sangat tidak adil,” ungkap seorang guru honorer dari Jawa Tengah.
Suara serupa juga datang dari tenaga kesehatan, petugas administrasi, dan pegawai pelayanan publik lainnya. Mereka berharap pemerintah segera memastikan bahwa proses transisi ke PPPK full time tidak lagi menjadi ajang transaksional.
Harapan untuk Perubahan yang Adil
Aliansi R2-R3 berkomitmen akan terus mengawal kebijakan ini. Mereka merencanakan serangkaian pertemuan dengan anggota DPR, Ombudsman, dan lembaga terkait untuk memastikan tidak ada praktik penyimpangan dalam proses alih status PPPK.
Faisol Mahardika menutup pernyataannya dengan pesan tegas: “Kami tidak menolak kebijakan pemerintah, tapi kami ingin memastikan bahwa perubahan ini dilakukan dengan adil. Jangan biarkan keringat tenaga honorer digantikan oleh uang dan koneksi.”
Ia juga menyerukan agar masyarakat luas ikut mengawasi proses rekrutmen ASN agar tidak kembali terjebak dalam siklus lama korupsi dan nepotisme birokrasi.
Penutup
Kisah PPPK paruh waktu yang berjuang menjadi ASN penuh waktu bukan hanya soal status pekerjaan, tetapi juga soal keadilan dan penghargaan atas pengabdian. Jika praktik jual beli jabatan benar terjadi, maka reformasi birokrasi yang digaungkan selama ini kehilangan makna.
Pemerintah, lembaga pengawas, dan masyarakat harus memastikan bahwa proses seleksi PPPK berjalan jujur dan transparan. Karena di balik setiap tenaga honorer yang menanti kepastian, ada mimpi sederhana untuk hidup layak dari pekerjaan yang mereka cintai — tanpa harus membayar mahal demi sebuah kursi ASN.

Cek Juga Artikel Dari Platform lagupopuler.web.id
