iklanjualbeli.info Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membeberkan temuan penting terkait dugaan praktik korupsi dalam transaksi jual-beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Inti Alasindo Energi (IAE). Kasus ini dinilai membuka pola baru dalam kejahatan korupsi di sektor energi, terutama karena skemanya menggunakan mekanisme pembayaran uang muka yang seolah legal tetapi dipakai untuk kepentingan melanggar hukum.
Aurora Magdalena, saksi ahli dari BPK, menilai bahwa PT PGN seharusnya tidak membayarkan uang muka sebesar 15 juta dolar AS kepada PT IAE, sekalipun perjanjian jual-beli gas (PJBG) mencantumkan klausul hukum yang mengatur transaksi tersebut. Menurutnya, pembayaran tersebut tidak memenuhi kelayakan administrasi maupun prinsip kehati-hatian yang seharusnya diterapkan oleh perusahaan negara.
Modus Baru Melalui Pembayaran Uang Muka
Dalam penjelasannya, Aurora menyebut bahwa modus yang digunakan dalam kasus ini berbeda dari bentuk korupsi migas yang pernah terjadi sebelumnya. Biasanya korupsi terjadi lewat markup harga gas, manipulasi volume, atau pengaturan kontrak jangka panjang. Namun dalam kasus PGN–IAE, uang negara digelapkan melalui skema pembayaran di muka yang seharusnya hanya dilakukan apabila transaksi telah memenuhi syarat bisnis yang jelas dan terukur.
Menurut BPK, pembayaran uang muka yang dilakukan PGN kepada IAE tidak memiliki dasar kuat. PT IAE hanya berperan sebagai perusahaan perantara dan tidak memiliki infrastruktur maupun kapasitas bisnis untuk menyediakan gas sesuai kontrak. Walaupun demikian, PGN tetap mengucurkan uang muka dalam jumlah besar tanpa melakukan verifikasi mendalam. Inilah yang kemudian menjadi celah korupsi.
Peran IAE dan Dugaan Pengaturan Transaksi
Aurora menegaskan bahwa pola ini menunjukkan adanya upaya terstruktur untuk mengalirkan uang negara melalui perusahaan perantara. Skemanya tidak hanya melibatkan uang muka 15 juta dolar AS, tetapi juga rencana potensi akuisisi seluruh Isargas Group oleh PGN. Jika akuisisi terjadi, aliran dana yang lebih besar bisa berpotensi keluar dari kas perusahaan negara tanpa manfaat ekonomi yang jelas.
Dengan kata lain, kasus ini tidak hanya menyangkut satu transaksi, tetapi juga berkaitan dengan strategi bisnis yang dimanfaatkan sebagai kedok untuk mengalihkan dana perusahaan.
Pengungkapan di Persidangan
Pengungkapan modus tersebut muncul dalam persidangan yang menghadirkan dua terdakwa: mantan Direktur Komersial PGN, Danny Praditya, serta mantan Komisaris PT IAE, Iswan Ibrahim. Dalam persidangan, Hakim Andi Saputra mempertanyakan apakah pola yang digunakan ini dapat disebut sebagai modus baru dalam kejahatan korupsi migas.
Pertanyaan hakim berangkat dari penjelasan panjang Aurora mengenai rekam jejak transaksi sektor gas dan berbagai bentuk penyimpangan yang pernah terjadi. Ketika hakim bertanya apakah ia ingin menyatakan bahwa pola ini dapat dikategorikan sebagai modus baru, Aurora menegaskan bahwa mekanisme melalui uang muka memang belum pernah ditemukan sebelumnya dalam kasus-kasus serupa yang diteliti BPK.
PGN Dinilai Lalai dalam Penerapan Tata Kelola
BPK juga menilai bahwa PGN tidak menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. PT IAE, sebagai penerima uang muka, tidak memiliki rekam jejak kuat dalam industri gas. Tidak adanya infrastruktur, aset pendukung, maupun akses terhadap sumber gas seharusnya menjadi alasan kuat untuk menolak permohonan pembayaran uang muka.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan PGN justru tetap meloloskan permintaan pembayaran tersebut. Proses ini memunculkan pertanyaan mengenai adanya intervensi internal atau rekayasa dokumen berupa rekomendasi bisnis yang seolah-olah valid.
Dugaan Pelanggaran Prosedur dan Penyalahgunaan Wewenang
Kasus ini juga menyiratkan adanya pelanggaran prosedur internal yang cukup serius. Dalam struktur bisnis normal, pembayaran sebesar 15 juta dolar AS membutuhkan kajian mendalam dan persetujuan berlapis, termasuk dari direksi, komite audit, dan komisaris. Namun transaksi kepada IAE tetap berjalan meski tidak memenuhi prasyarat kelayakan.
Hal ini menjadi indikasi bahwa beberapa pejabat di PGN mungkin menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan pihak tertentu. Di sisi lain, IAE dianggap memanfaatkan posisi sebagai perantara untuk memperoleh keuntungan ilegal.
Dampak Kasus Terhadap Sektor Migas
Pengungkapan kasus ini memberikan dampak besar terhadap citra industri migas nasional. Sektor ini dikenal memiliki risiko penyimpangan tinggi karena melibatkan nilai transaksi yang sangat besar. Temuan BPK memperkuat persepsi bahwa pengawasan di sektor ini masih perlu diperketat, terutama dalam transaksi yang melibatkan perusahaan perantara.
Selain itu, kasus ini menjadi peringatan bahwa mekanisme pembayaran uang muka dapat disalahgunakan apabila tidak diawasi secara ketat. Perusahaan negara diwajibkan menerapkan prinsip kehati-hatian agar skema serupa tidak terulang.
Langkah Selanjutnya dalam Proses Hukum
Persidangan terhadap dua terdakwa masih berlangsung dan diperkirakan akan menghadirkan sejumlah saksi tambahan. Proses hukum ini diharapkan dapat mengungkap siapa saja yang terlibat, baik di dalam PGN maupun IAE.
Jika terbukti ada pejabat yang memanfaatkan jabatannya untuk memuluskan transaksi ilegal, maka sanksi hukum akan dijatuhkan sesuai ketentuan tindak pidana korupsi. Negara juga dapat menuntut pengembalian kerugian yang timbul dari pembayaran uang muka tersebut.
Penutup: Peringatan Keras bagi Tata Kelola BUMN
Kasus PGN–IAE menjadi contoh nyata bahwa korupsi di sektor energi terus berkembang dengan cara-cara baru. BPK menilai skema pembayaran uang muka merupakan praktik yang perlu diwaspadai karena berpotensi menjadi jalur pengalihan dana yang sulit dilacak.
Melalui persidangan ini, pemerintah diharapkan memperketat pengawasan terhadap BUMN agar kasus serupa tidak terulang. Korupsi dalam bentuk apa pun, apalagi melibatkan dana negara, harus ditindak tegas demi menjaga kepercayaan publik dan stabilitas energi nasional.

Cek Juga Artikel Dari Platform radarbandung.web.id
