iklanjualbeli.info Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti praktik jual beli jabatan yang masih marak terjadi di lingkungan pemerintahan daerah. Fenomena ini dianggap bukan sekadar bentuk penyimpangan birokrasi, melainkan sudah menjadi pintu masuk bagi berbagai kasus korupsi lain. Menurut KPK, sistem yang terbentuk dari praktik jual beli jabatan ini melahirkan efek domino yang berujung pada rusaknya integritas lembaga pemerintahan.
Dalam salah satu penjelasannya, KPK mencontohkan kasus yang menimpa Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Dugaan kuat menyebut adanya praktik jual beli jabatan yang menyeret nama Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko. Dari situ terlihat bagaimana praktik tersebut tidak berhenti hanya pada tahap perekrutan pejabat, tetapi juga merembet hingga ke pengelolaan proyek dan kebijakan daerah.
Jabatan Sebagai Komoditas
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa jual beli jabatan tidak hanya merusak tatanan birokrasi, tetapi juga menciptakan budaya transaksional di tubuh pemerintahan. Ketika seseorang membayar untuk mendapatkan posisi, maka jabatan itu berubah menjadi komoditas, bukan lagi tanggung jawab pelayanan publik.
Menurut Asep, pola ini membuat pejabat merasa perlu “mengembalikan modal” dengan cara memanfaatkan jabatan untuk mencari keuntungan finansial. Misalnya, dengan mengatur proyek, memotong anggaran, atau menerima setoran dari rekanan tertentu. Alhasil, korupsi tidak lagi berdiri sendiri, melainkan menjadi rantai panjang yang saling terkait antarpejabat.
Persaingan yang Tidak Sehat
Lebih lanjut, KPK melihat bahwa jual beli jabatan menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara pejabat daerah. Persaingan bukan lagi berfokus pada siapa yang paling mampu melayani masyarakat, melainkan siapa yang paling mampu membayar atau memiliki koneksi kuat untuk mendapatkan posisi strategis.
Kondisi ini akhirnya menciptakan suasana kerja yang penuh intrik dan kepentingan pribadi. Pejabat yang seharusnya fokus pada pelayanan publik malah sibuk mencari cara mempertahankan jabatannya atau mengejar posisi yang lebih tinggi dengan segala cara, termasuk melalui praktik curang.
Dampak Sistemik Terhadap Pelayanan Publik
Efek paling nyata dari praktik ini adalah menurunnya kualitas pelayanan publik. Ketika jabatan diperoleh dengan cara membeli, fokus utama pejabat bukan lagi pada kinerja dan tanggung jawab, melainkan pada pengembalian biaya politik yang sudah dikeluarkan. Akibatnya, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan karena pelayanan menjadi lambat, tidak efektif, dan penuh ketidakadilan.
Selain itu, keputusan-keputusan penting yang seharusnya berdasarkan kebutuhan masyarakat sering kali dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal inilah yang membuat banyak program pemerintah daerah tidak berjalan optimal, bahkan gagal karena tidak direncanakan dengan prinsip transparansi.
KPK Dorong Reformasi Birokrasi
Melihat dampak luas yang ditimbulkan, KPK terus mendorong reformasi birokrasi di tingkat daerah. Salah satu langkah penting adalah memperkuat sistem seleksi jabatan berbasis merit atau kemampuan, bukan kedekatan politik. KPK juga mengajak masyarakat untuk aktif melaporkan indikasi jual beli jabatan yang terjadi di lingkungan pemerintahan.
Menurut Asep, perubahan sistem tidak akan efektif tanpa partisipasi publik. Masyarakat diharapkan berani melapor apabila mengetahui adanya praktik tidak sehat dalam proses mutasi, promosi, atau pengangkatan jabatan. Dengan begitu, pengawasan tidak hanya datang dari lembaga penegak hukum, tetapi juga dari warga yang peduli terhadap integritas pemerintahan.
Harapan Menuju Pemerintahan Bersih
Kasus jual beli jabatan menjadi cerminan betapa pentingnya integritas dalam birokrasi. KPK berharap momentum penegakan hukum terhadap kasus seperti ini dapat menjadi peringatan bagi pejabat lain agar tidak terjebak dalam praktik serupa. Pemerintahan yang bersih dan berintegritas hanya bisa terwujud jika setiap pejabat menjadikan pelayanan publik sebagai panggilan moral, bukan ladang transaksi.
Masyarakat kini semakin sadar bahwa korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah budaya yang sudah mengakar. Oleh karena itu, perlu upaya kolektif untuk memutus rantai kebiasaan buruk ini. Ketika jabatan tidak lagi bisa diperjualbelikan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan perlahan pulih, dan pelayanan publik bisa kembali pada tujuan utamanya: menyejahterakan masyarakat.

Cek Juga Artikel Dari Platform baliutama.web.id
